Senin, 06 Juni 2011

Layar Terkembang


Ku Serahkan Kekasihku Untuk Kakak Tercinta
Oleh
DELLA RESTATESELA
2222090269
DIKSATRASIA (3A)
Indonesia pada jaman dahulu, berabad-abad lamanya merupakan jaman tertindas dan pembodohan untuk rakyat Indonesia karena sebuah penjajahan terjadi. Semua rakyat Indonesia sangat menderita dan ini pun dialami para wanita. Wanita di perbudak oleh para pria. Pada jaman itu wanita tidak boleh lebih maju dari pada pria. Wanita ditakdirkan untuk mengurus rumah dan kantornya adalah dapur. Mereka tidak mengenal sekolah, tidak mengenal buku, pulpen, pensil dan tidak mengenal baca. Pada tahun setelah karya sastra lahir tahun 1900-an, rakyat Indonesia sudah mulai di bukakan matanya dari para penjajah yang menyiksanya, namun perempuan Indonesia tetap saja terbelakang dan masih harus berurusan dengan dapur. Barulah pada saat R.A Kartini memperjuangkan para wanita Indonesia agar disejajarkan dengan para pria, pada saat itu wanita Indonesia sudah mengenal baca dan tulis. Namun, semua itu tidak berjalan lancar karena masih adanya pihak orang tua yang melarang anak perempuannya bersekolah.
            Cita-cita yang luhur yang ingin dicapai pahlawan wanita kita dalam memperjuangkan hak wanita ternyata benyak pendukungnya terutama dalam dunia sastra. Pada Angkatan Balai Pustaka banyak roman bermunculan yang bertemakan perempuan tertindas, namun pengarang menyisipkan sisi pemberontakkan terhadap keadaan oleh tokoh antagonisnya. Pada Angkatan Pujangga Baru, suatu novel muncul dengan sentuhan pikiran wanita modern untuk maju dan bisa disetarakan dengan pria. Angkatan ini dipelopori oleh S. Takdir Alisyahbana, Beliaupun pengarang novel tentang pemikiran wanita modern dalam karyanya yang berjudul Layar Terkembang.
Novel tersebut sedikit menyinggung tentang kaum wanita dengan pikiran yang modern. Karya sastra merupakan ruang yang fleksibel dalam menuangkan pikiran dan mudah menyiarkan suatu gagasan. Dalam pembentukan karya sastra, suatu imajinasi, pengalaman, cita-cita, realita dapat dijadikan patokan dalam pembuatan karya sastra. Mimpi yang tak perterwujud  bisa menjadi nyata dalam karya sastra. Dengan usungan tema yang begitu mendalam, penikmat karya sastra pun mampu menangkap amanat yang terkandung didalamnya.
Novel ini mengisahkan perjuangan wanita Indonesia dalam mencapai cita - citanya. Novel ini banyak memperkenalkan masalah wanita Indonesia dengan benturan-benturan budaya baru menuju pemikiran modern. Hak-hak wanita yang banyak diusung oleh budaya modern dengan kesadaran gender, banyak diungkapkan dalam novel ini dan menjadi sisi perjuangannya seperti berwawasan luas dan mandiri. Didalamnya juga banyak memperkenalkan masalah-masalah baru tentang benturan kebudayaan antara barat dan timur serta masalah agama. Roman ini juga menampilkan cinta kasih antara tokoh utamanya yaitu, Yusuf, Maria, dan Tuti.
            Novel ini pertama kali dicetak pada tahun 1936, pada cetakan ke-38 tahun 2006, tampilan novel ini sudah sangat menarik, ada beberapa halaman yang bergambar sehingga pembaca dapat menyatu dengan alur, dan hal itu sangat di tepat dilakukan oleh penerbit mengingat novel ini termasuk novel klasik yang susah dipahami pada masa kini karena permainan diksi yang berbelit. Sastra klasik pada umumnya susah untuk dimengerti pada saat ini, karena pada saat ini, bahasa Indonesia sudah mengalami kemajuan sangat pesat, sehingga dibutuhkan waktu untuk memahami karya sastra klasik.
            Novel ini menceritakan kisah asmara remaja antara Maria dan Yusuf. Hubungan mereka serius dan akan berlanjut ketahap pernikahan. Konflik di mulai ketika Tuti merasa iri atas hubungan Maria dengan Yusuf. Tuti adalah kakak Maria berusia 5 tahun lebih tua dan ia belum menikah. Dan terjadilah pergulatan batin yang menimpa Tuti. Klimaks dari konflik adalah ketika Maria terserang penyakit malaria dan TBC yang membawa ia sampai ajalnya. Dan pesan terakhir Maria adalah agar kedua orang yang ia cintai yaitu Yusuf dan Tuti menikah. Pengarang sengaja memunculkan klimaks pada akhir-akhir cerita agar pembaca dibuat penasaran olehnya. Namun dalam novel tersebut. Pengarang tidak menjelaskan secara terperincin tentang kematia
            Secara keseluruhan isi cerita ini sangatlah bagus. Alur yang ditulis sudah runtut dimulai dari pengenalan, klimaks, antiklimaks, hingga penyelesaian yang sangat dramatis. Novel ini bisa membawa para pembaca seolah-olah menjadi penonton dalam sebuah drama percintaan yang mengharukan. Kisah ini mengingatkan kita bahwa setiap insan pasti akan mempunyai pasangan hidup jika Sang Penguasa telah menakdirkannya yang mana ia akan menjadi pendamping hidup kita dikala kita suka maupun duka.
            Sayangnya novel yang pertama kalinya terbit di tahun 1936 ini sepertinya kurang diminati para remaja. Padahal temanya pun tak jauh dari realita kehidupan kita. Tatanan bahasa yang dipakai adalah Melayu sehingga kurang bisa dipahami para pembaca. Tatanan kalimatnya tidak efektif sehingga muncul berbagai kalimat ambigu yang menimbulkan missunderstanding pembacanya. Pemakaian bahasa yang tidak komunikatif dalam dialog antar tokoh, kurang menggugah para pembaca untuk melanjutkan ceritanya hingga akhir. Karya sastra sejenis ini memang mementingkan keindahan diksi, novel-novel muncul sebelum Angkatan ‘45 memang terlalu nbanuak pemborosan kata karena belum menggunakan bahasa Indonesia sehari-hari.
            Dalam novel ini ada unsur-unsur feminisme yang diperlihatkan tokoh Tuti. Tuti adalah putri sulung Raden Wiriaatmaja, ia seseorang yang aktif dalam berbagai kegiatan wanita, selalu serius, jarang memuji, pandai dan cakap dalam mengerjakan sesuatu. Ia seorang wanita yang memiliki wawasan dan pemikiran modern. Ia mencoba menyamakan hak kaum wanita dengan kaum pria. Ambisinya besar untuk menyetarakan perempuan dan laki-laki sangatlah besar, menurut Tuti, perempuan harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat memberikan pengaruh yang sangat besar didalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan demikian perempuan dapat lebih dihargai kedudukannya di masyarakat.
            Dalam novel ini jelas sekali pengarang menyisipkan amanat bahwa cinta dan pengorbanan terkadang berjalan seiringan. Hal ini terjadi pada tokoh Maria da Yusuf. Cinta Yusuf yang begitu mendalam terhadap Maria begitu jelas terlukis dalam novel ini. Yusuf rela pergi mengunjungi Maria di Bandung sedangkan ia berada di Sumatra. Ketika Maria sakit dan dirawat inap di rumah sakit yang terpencil, Yusuf pun rela menghabiskan waktu liburnya di sana menemani sang kekasih. Dan ketika Maria menghadapi ajal, Maria meminta Yusf dan Tuti sang kakak, agar sudi menjalin hubungan.

Laskar Pelangi


Perbedaan Tulisan dan Visualisasi Terhadap Laskar Pelangi
Oleh
DELLA RESTATESELA
2222090269
DIKSATRASIA (3A)

Jika memelusuri sejarah sastra, kita akan dihadapkan pada puluhan, ratusan tahun ke belakang. Saat ini sastra sudah banyak mengalami kemajuan yang sangat luar biasa. Dari awal kemunculan sampai saat ini sudah banyak perkembangan dan kemajuan dalam dunia sastra. Pasa saat awal kemunculan, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu, kemudian berangsung menjadi bahasa Indonesia yang seutuhnya dan tidak lagi mengekor pada bahasa Melayu. Tema yang diusung juga tidak lagi kawin paksa. Pembaca pun dibuat pintar karena adanya karya sastra yang bervariasi.
 Karya sastra pada tahun 2000an sudah sangat berbeda dengan karya sastra angkatan 1990an. Saat ini, novel-novel yang sedikitnya mengandung seks pun kini sudah bisa diterbitkan, tidak ada lagi ketakutan sang pengarang yang karyanya akan ditolak oleh para penjajah. Perkembangan jaman pun kut berpengaruh pada perkembangan duna sastra. Pada tahun 2000an, telah banyak karya sastra yang di filmkan, bahkan dari film berlanjut kepada karya sastra, dan adapula dari karya sastra kemudian di filmkan, lalu dibuat sinetron.
Sastra dan realita adalah dua hal yang berbeda namun akan menjadi sebuah karya sastra yang indah jika menggabungkan antara realita dan imajinasi. Seorang pengarang dalam menyajikan karya sastra tentu adanya latar realita pengarang. Banyak karya-karya yang terlahir berkat adanya suguhan realita pengarang. Novel Nh. Dini Pada Sebuah Kapal adalah karya sastra yang sedikitnya dibuat pengarang karena adanya unsur realita pengarang. Ziarah -  Iwan Simatupang dalam karyanya mengandung nilai filsafat karena pengarang berlatar belakang pendidikan filsafat. Novel-novel karya Habiburrahman El-Shirazyi kebanyakan berlatarkan Mesir karena pengarang memang pernah bersekolah di Mesir.
Saat ini, pada jaman 2000an, sebagai penikmat sastra, telah banyak cara untuk menikmati karya sastra. Karya sastra pada angkatan 2000an telah banyak yang filmkan. Hal ini sangat mendukung karena pada jaman ini, saat ekonomi sulit, dan teknologi sudah maju, para pecinta sastra dengan sangat mudah menikmati suguhannya. Dan ini salah sastu bentuk promosi yang baik, karena jika di visualisasikan menjadi bagus, maka dengan sendirinnya novel tersebut akan dicari oleh para pembaca.
Salah sastu novel yang kemudian difilmkan adalah novel buah tangan Andrea Hirata. Saat ini Beliau sudah banyak menulis novel. Karyanya yang terkenal adalah tetralogi dan semuanya laku di pasaran. Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Endensor, dan Maryamah Karpov. Saat ini, novel Beliau yang sudah difilmkan adalah Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi.
Tetralogi buah tangan Andrea Hirata adalah kisah nyata dari perjalanan hidupnya. Perlajanan yang indah, penuh perjuangan, kesetiaan, perjuangan untuk mendapatkan pendidikan ketika kecil seorang pengarang yang akrab disebut “Ikal” karena rambutnya yang ikal terangkum jelas dalam tulisanya seolah perjalanan hidupnya ia catat benar-benar tanpa mengandalkan ingatan karena cerita dalam novel ini diadaptasi oleh perjalanan hidupnya yang benar-benar ia rasakan
Dalam hal ini, pengarang seolah ingin menunjukan bahwa realita kehidupan seseorang bisa menjadikannya indah dan dinikmati oleh orang banyak dalam sebuah karya sastra disugunkan dengan adanya unsur imajinasi pengarang. Karya sastra pada dasarnya tidak bisa lepas dari realita, imajinasi, latar belakang, sejarh, lingkungan. Semua unsur itu seakan tidak mau dipisahkan dengan karya sastra..
Laskar pelangi adalah gambaran kekuatan 10 anak Belitung miskin yang ingin bersekolah dan meraih cita-cita. Cerita ini dimulai pada saat ke-10 anak tersebut mulai masuk sekolah. SD Muhammadiyah adalah sekolah Islam tertua ditanah Belitung. SD itu tidak layak disebut sekolahan karena tempatnya seperti kandang ternak. Namun semangat anak-anak tersebut tidak putus asa dalam meraih mimpinya. Dari awal cerita, konflikpun dimunculkan oleh pengarang, dari pagi hingga siang anak yang mendaftar baru 9 siswa, hal ini sangat menciutkan hati kepala sekolah dan guru, karena dengan demikian sekolah tersebut akan dibubarkan oleh Depdikbud Sumsel karena jika tahun ajaran baru tidak mendapat 10 siswa, maka sekolah tersebut harus ditutup. Dan ketika matahari berajak naik, kepala sekolah ingin menyampaikan pidato bahwa sekolah akan dibubarkan, sang juru penyelamat datang, seorang siswa yang keterbelakangan mental menyelamatkan 9 siswa yang ingin bersekolah.
Saat ini telah banyak novel-novel yang diterbitkan kemudian di visualkan, mulai dari novel-novel barat maupun Indonesia. Novel yang meledak dan filmnya yang banyak disukai diantaranya novel Harry Potter karya J.K Rowling yang saat ini menjadi deretan orang terkaya didunia karena hasil penjualan bukunya dan royalti film dari karyanya yang disukai setiap orang diseluruh dunia, Twilight Saga sebuah tetralogi buah tangan Stephenie Meyer dengan karyanya Twilight, New Moon, Eclipse, Breaking Down yang saat ini digandrungi oleh kaula muda. Sedangkan novel-novel karya pengrang Indonesia yang sudah difilmkan adalah novel Habiburrahman El-Shirazy yaitu Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Ketika Cinta Bertasbih 2 yang juga pernah disinetronkan disalah satu stasiun televisi swasta, Dalam Mihrab Cinta, karya-karya Andrea Hirata Laskar Pelangi, Sang Pemimpi. Dan masih banyak lagi novel-novel yang kurang terkenal namun difilmkan diantaranya Dealova, Jakarta Undercover, Drop Out, Kambing Jantan, Jomblo, Me vs Highheels, Eiffel Im In Love dan masih banyak lagi. Selain dari novel yang kemudian difilmkan, ada juga yang dari film kemudian dibuat tulisan yang berbentuk scenario film yang diterbitkan seperti film Gie. Tren menfilmkan novel adalah ciri karya sastra angkatan 2000an.
Sebelum muncul tren memfilmkan sebuah novel, dunia perfilm-an Indonesia seakan mati suri. Tidak ada lagi film-film yang menarik untuk dinikmati kaum terpelajar, karena yang ada hanyalah film-film panas yang berlatarkan kasur. Namun pada tahun 2000, Riri Riza yang juga sutradara Laskar Pelangi membuat film berjudul Petualangan Sherina yang kemudian disusul dengan film Ada Apa Dengan Cinta? (2002) kemudian disusul oleh film-film yang berbobot sehingga seakan membangkitkan dunia perfilman Indonesia. Sumber : http://tipscinta.net76.net/cinta/ada-apa-dengan-cinta.htm dan http://id.m.wikipedia.org/wiki/ Riri_Riza?wasRedirected=true
Dalam novel Laskar Pelangi, pengarang membuatnya terlalu banyak deskripsi dan sedikit dialog, seakan novel ini merupakan catatan harian pengarang yang ingin meluapkan segala hal yang terjadi yang menimpanya kemudian ia tuangkan dalam sebuah tulisan, sehingga pembaca lebih mendalami deskripsi. Bahkan ada bab-bab dalam novel tersebut yang tidak ada dialognya sama sekali dan sepanjang bab itu hanya deskripsi da terdapat pada bab 6 dan bab 7. Dalam bab 5 tidak ada dialog melainkan ucapan 1 orang.
Dalam membaca novel ini, kita seperti berada disebuah kota kecil dan miskin yang bernama Belitung. Pendeskripsian tempat begitu terperinci, sehingga mengajak pembaca untuk mengamati tempat tersebut. Novel ini juga menganggkat nama Belitung. Karena masyarakat awam Indonesia tidak tahu dimana pulau itu karena pulau itu terpisah dengan pulau Sumatra. Kini, melalui karya ini, Belitung menjadi terkenal dan tidak dipandang sebelah mata karena seorang anak berdarah Belitung sudah terkenal diseluruh penjuru Indonesia bahkan sampai keluar negeri. Maka, jika ingin mengetahui lebih dalam dengan Belitung, tidaklah salah kalau kita membaca atau menonton film Laskar Pelangi.
 Membaca novel ini juga seakan membca buku sains yang tebalnya ribuan lembar. Pengarang terlihat begitu pintar dalam bidang sains, ya memang benar, karena di halaman terakhir buku terdapat biografi pengarang. Novel ini layaknya buku pintar karena ada unsur pendidikan, pelajaran ketika SD dan SMP. Pengarang pun memberi ilmu kepada pembaca khususnya pelajar dalam menghitung cepat. Hal ini terlihat dalam kutipan:
“Hafalkan luar kepala semua perkalian sesama angka ganjil, itulah yang sering menyusahkan. Hilangkan angka satuan dari perkalian dua angkapuluhan karena lebih mudah mengalikan dengan angka berujung nol, kerjakan sisanya kemudian, dan jangan kekenyangan kalau makan malam, itu akan membuat telingamu tuli dan otakmu tumpul.” (Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi 2008 : 107-108)

Selain itu, hal-hal yang sangat menunjukan bahwa pengarang menyukai sains dapat kita lihat dalam deskripsi diberbagai bab karena pengarang selalu berbicara mengenai fisika, dan yang lebih kental terasa terdapat pada bab 27 “Detik-Detik Kebenaran”. Pada bab itu seakan buku “pintar” ini memberikan ilmu yang lebih kepada para pembaca.
Selain unsur sains, novel inipun sarat akan nilai agama, dan persahabatan. Dan membaca buku ini juga seolah membaca buku agama Islam. Di awal cerita kita sudah disuguhkan tentang cerita Nabi Nuh, As, keutamaan shalat tepat waktu, pentingnya memegang amanah sebagai seorang pemimpin, dosanya berbuat musrik.
Tokoh terpenting anggota Laskar Pelangi berjumlah 10 orang. Ikal, Lintang, Sahara, Mahar, Akiong, Kucai, Borek, Trapani, Harun, Syahdan. Persahabatan mereka begitu erat, karena selama 9 tahun mereka bersama di sekolah Muhammadiyah. Dalam novel, pengarang begitu jelas menggambarkan tubuh, sifat, kebaikan dan kejelekan mereka. Dalam hal pendeskripsian memang pengarang sangat mahir.
 Laskar Pelangi merupakan cerita ia sewaktu kecil yang bersekolah di SD Muhammadiyah. Kehidupan yang sulit membuat ia berjuang melawan kemiskinan, kebodohan yang seakan terekam dalam novel ini. Cetakan pertama novel ini adalah tahun 2005 dan laku keras dipasaran. Setelah dua tahun terbitnya Laskar Pelangi, seorang sutradara kenamaan Indonesia, Riri Riza yang bernaung dalam rumah produksi Miles tertarik untuk memfilmkan novel ini.
Memvisualisasikan sebuh novel tidaklah mudah, karena tulisan dan visual adalah dua hal yang berbeda namun berkaitan dalam suatu pembuatan film. Dalam karya sastra yang berupa tulisan pengarang bisa dengan mudah menuliskan segala imajinasinya walaupun dengan gaya hiperbola, namun jika dalam pembuatan suatu film, deskripsi tidaklah begitu penting, bahkan terlalu banyak deskripsi seolah mempersulit sutradara dalam mewujudkan atau memvisualisasikan suatu novel.
Setelah novel ini divisualkan, banyak perbedaan dikeduanya. Hal ini wajar saja, karena memvisualkan sesuatu lebih susah daripada mendeskripsikannya. Hal ini membuat pro-kontra terhadap pecinta novel ini. Banyak pembaca yang kemudian menonton film ini kecewa karena banyak ketidaksamaan seperti dalam novel, sehingga nilai ketertarikan terhadap buku lebih tinggi daripada dengan filmnya. Namun, jika seorang penonton yang kemudian membaca novel ini, maka penonton akan lebih tertarik pada filmnya. Karena sesuatu yang dilakonkan oleh pemain, akan lebih masuk nilai amanatnya tinimbang membaca novelnya. Salah satu keengganan penonton yang kemudian membaca novelnya adalah terlalu banyak deskripsi, sehingga penonton yang sudah tahu jalan ceritanya akan membaca secara cepat dan sekilas.
Perbedaan pada novel yang kemudian difilmkan tidak hanya terjadi pada novel Laskar Pelangi melainkan pada setiap novel yang difilmkan. Bahkan film Harry Potter pun setelah difilmkan melenceng jauh dari cerita. Hal ini wajar saja karena Harry Potter menggunakan tingkat imajinasi yang tinggi dari seorang pengarang, Twilight difilmkan pun tidak sama seperti novelnya, dan mendapatkan pro-kontra juga dari penggemarnya.
Dalam Laskar Pelangi perbedaan sangat mencolok di jalan cerita. Walaupun secara keseluruhan sama, namun keduanya berbeda. Tanpa mengurangi amanat yang terkandung di dalamnya, sang sutradara mengemasnya secara ringkas mengingat 494 halaman divisualisasikan ± 2 jam atau sekitar 120 menit.
Dalam novel, pembaca akan diajak masuk ke wilayah perjalanan mereka dari awal masuk hingga akhirnya loncatke 12 tahun kemudian, namun dalam novel, setelah hari pertama sekolah, penonton langsung disuguhkan ke pada lima tahun kemudian.
Dalam filmpun dijelaskan bahwa meraka anak-anak Laskar Pelangi mulai SD tahun 1974. Didalam novel tidak dijelaskan tahun berapa, tahun apa yang mereka lalui.
Didalam novel terdapat tokoh-tokoh yang tidak ada dalam novel dan juga tidak ada tokoh dalam film namun ada dalam novel. Tokoh yang dimaksud adalah yang ada dalam film tetapi tida ada dalam novel adalah Pak Bakri, Pak Mahmud, Pak Zulkarnaen, sedangkan tokoh yang ada ada dalam novel dan tidak ada dalam film adalah, anggota keluarga Lintang, Mujis, Drs.Zulfikar.
Alur dalam novel pun tidak sama dengan film. Alur dalam film begitu cepat dan seakan terburu oleh durasi, ceritanya pun suguhkan dengan kecermatan mengabungkan kejadian satu dengan yang lainnya sehingga muncullah keserasian yang alami. Jika dibandingkan dengan novelnya, novelnya terlalu lama mendeskripsikan dan kesannya memutarkan alur cerita.
Cerita yang janggal dan beda adalah ketika pertemuan dengan Tuk Bayan Tulah. Dalam novel banyak sekali anggota kelompok yang diketuai Mahar, namun dalam film hanya anak-anak Laskar Pelangi. Pertemuan dengan dukun itu dalam film terjadi sebelum diadakan cerdas cermat, namun dalam novel dilakukan setelah cerdas cermat.
Dalam novel Lintang bersekolah hanya sampai tingkat SD, namun dalam novel di ceritkan bahwa Lintang bersekolah sampai SMP. Dalam novel pun ketika Lintang lomba cerdas cermat, ayah dan ibu Lintang datang untuk melihatnya beraksi. Dan ketika mereka cerdas cermat, orang yang seharusnya mengikuti lomba adalah Sahara, Lintang, Ikal, bukanlah Mahar yang menggantikan Sahara.
Dalam novel, Pak Harfan tidak meninggal dunia, ini adalah trik sutradara yang cermerlang, karena disuguhkan pas ketika Ikal sedang berduka karena perempuan yang ia cintai pergi ke Jakarta untuk menemani Bibinya namun dalam film A Ling kekasih ikal pergi menemani Apanya.
 Dalam novel, panggilan untuk Bu Mus adalah “Ibunda Guru” namun dalam film hanya “Bu Mus” saja. Bu Mus pun dalam novel memanggil muridnya “ananda” namun dalam film hanya memanggil nama.
Dalam novel tidak diceritakan  bahwa SD Muhammadiyah mengikuti ujian di SD PN, namun di film diceritakan. Hal ini mengingat dalam novel pengarang sering membandingkan keunggulan SD PN dengan SD Muhammadiyah yang miskin.
Banyak sekali hal-hal yang di luar dugaan terjadi dalam film ini. Tidak sama dengan novelnya, namun amanat tentang syiar agama Islam tetap terlaksana seperti ketika Bu Mus menasehati Kucai yang tentang keutamaan menjadi seorang pemimpin tanpa harus adanya pemilihan ketua kelas yang diceritakan dalam novel.
Dalam novel setelah 12 tagun kemudian dijelaskan pekerjaan masing-masing anggota Laskar Pelangi. Namun dalam film, pertemuan setelah 12 tahun jemudian adalah Ikal bertemu dengan Lintang dan tidak dijelaskan pekerjaan Lintang apa tidak seperti dalam novel. Akhir cerita yang sangat mengasankan adalah dalam novel, dalam film akhirnya kutang mengena dihari para penonton.
 Memang novel dan film adalah dua hal yang berbeda, namun akan saling berkaitan jika keduanya diadaptasikan. Hal itu sering terjadi pada saat ini, novel yang kemudian di filmkan. Karena itulah ciri karya sastra angkatan 2000an.

Jangan Main-Main dengan Kelaminmu


Dari SEKS Menuju Sastra
Oleh
Della Restatesela
2222090269
DIKSATRASIA (3A)

Di Indonesia, seks merupakan hal yang sangat tabu untuk di perbincangkan. Karena seks merupakan sesuatu yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah dan menurut agama termasuk dosa besar bila dilakukan sebelum adanya pernikahan. Indonesia merupakan Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam yang begitu mengaramkan seks bebas.
Seks identik dengan hubungan persetubuhan yang dilakukan antara pria dan wanita. Di Indonesia sejumlah perundang-undangan tentang seksual telah disusun agar mempersempit gerak-gerik sejumlah oknum yang “menghalalkan” seks sebelum pernikahan.
Suatu karya sastra merupakan hal yang halal dan menjadi kebanggaan apabila seseorang melahirkan suatu karya yang disukai oleh para pembaca dan berbeda dari pada yang lain walaupun di dalam karya sastra tersebut mengandung unsur-unsur pornografi yang identik dengan seks. Namun, sebuah alasan klise muncul bahwa “ya, itu adalah seni”. Memang antara sastra dan seni sangat perkaitan dan tidak dapat dipisahkan dari setiap karya sastra.
Sebuah karya yang cukup mencengangkan lahir dari jemari indah Djenar Maesa Ayu. Kumpulan cerpen yang berjudul Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu). Sebuah judul yang kesan awal untuk para pembaca adalah berkaitan dengan seks. Dalam kumpulan cerpen ini, ada beberapa cerpen yang unsur seksualitasnya sangat tinggi dan tidak layak dibaca untuk orang yang belum cukup umur, bahkan untuk orang dewasa tidak dipungkiri merakapun bisa berfantasi dari apa yang mereka baca. Tulisan-tulisan yang sangat berani dan sangat terperici secara jelas dalam kumpulan tersebut membuat penulis mendapat makian dan penghargaan dari para pecinta karyanya.
Kumpulan cerpen ini mengungkap sisi lain kehidupan. Penulis sangat pintar dalam permainan diksi, sudut pandang, dan tokoh yang berbeda dari kebanyakan cerpen. Dalam beberapa cerpen yang ada dalam buku ini, penulis tidak lagi menjadikan benda hidup yang menjadi tokoh dalam karyanya, benda mati seperti meja dan cermin dijadikan tokoh seperti dalam cerpen Mandi Sabun Mandi. Dalam cerpen tersebut pembaca seperti diingatkan bahwa apapun yang kita lakukan didunia ini Tuhan selalu mengetahuinya. Meja dan Cermin di dalam kamar motel tersebut menjadi saksi mati apa yang dilakukan oleh pria dan wanita yang bukan suami istri. Keesokan harinya wanita itu kembali datang dengan pria yang berbeda, lagi-lagi meja dan cermin menjadi saksi. Entah sudah berapa pasangan yang sudah disaksikan oleh mereka.
Dalam kumpulan cerpen Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu) majas personifikasi tidak hanya digunakan sebagai tokoh tetapi juga dijadikan sebagai sudut pandang pengarang seperti dalam cerpen Penthouse 2601. Dalam cerpen tersebut, sebuah cita-cita indah yang diharapkan oleh tokoh “aku” yang tidak lain adalah sebuah ruangan yang teletak di lantai tertinggi yang ditata indah seindah istana kerajaan, yang menginginkan keindahan dan kemewahannya dinikmati untuk tamu-tamunya yang butuh kenyamanan bekerja ditengah tawa ceria keluarga. Dari keindahan yang disuguhkan maka tak jarang untuk menyewa semalam pun harus merogoh kocek yang dalam. Garing rasanya jika pengarang mengabulkan keinginan tokoh utama yang merupakan sebuah ruangan mewah. Impian itu dihancurkan pengarang dengan menjadikan tempat tersebut sebagai tempai untuk berpesta, hura-hura dan seks tentunya.
Permainan sudut pandang juga berlaku dalam cerpen yang berjudul Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu). Dalam cerpen tersebut pengarang menyuguhkan satu cerita tentang perselingkuhan suami. Itu memang hal yang biasa, namun pengarang menyajikan dengan sangat unik melaui berbagai macam sudut pandang. Sehingga pembaca bisa menjadi seseorang yang berbeda didalam satu cerita dan merasakan apa yang para tokoh yang semuanya dijadikan sudut pandang pengarang. Perselingkuhan memang hal yang sangat menyakitkan, namun setelah membaca cerpen tersebut, kita tahu alasan mengapa adanya perselingkuhan. Entah itu karena “penyakit” yang sudah menjadi kebiasaan atau pun karena sang istri tidak bisa menjaga penampilannya agar suami merasa nyaman. Cerpen Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu) adalah sebuah cerpen yang paragrafnya merupakan pengulangan paragraf yang sebelumnya namun disuguhkan dengan sudut pandang yang berbeda-beda sehingga menjadi keunggulan dari cerpen ini.
Selain pengulangan paragraf, dalam cerpen Staccato terjadinya pengulangan diksi. Berbeda dengan cerpen Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu) yang disuguhkan dengan perbedaan sudut pandang, namun dalam cerpen ini hanya satu sudut pandang dan itupun abstrak sehinggan jenuh untuk membacanya.
Permainan alurpun terjadi dalam kumpulan cerpen Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu) dalam cerpen yang berjudul Saya Adalah Seorang Alkoholik!. Pada awalnya cerpen ini mamakai alur maju sampai dengan selesai, namun inti dari cerita merupakan di awal cerita yang pengarang sajikan ketika keadaan berjalan mundur. Akan lebih bagus lagi kalau cerpen ini disajikan secara visual. Selain itu keunikan dalam cerpen ini ada di akhir kalimat yaitu “HUNUBMEP GNAROES HALADA AYAS” yang merupakan kalimai “saya adalah seorang pembunuh” kerena tega membunuh janin-janin yang dikandungnya (lagi-lagi karena seks bebas).
Salah satu cerpen yang paling menonjol dalam kumpulan cerpen Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu) adalah cerpen yang berjudul Menyusu Ayah. Cerpen ini pun meraih penghargaan menjadi cerpen terbaik 2002 versi Jurnal Perempuan. Dari judul para pembaca sudah dapat memastikan bahwa cerpen ini khusus untuk orang yang sudah cukup umur dan tidak layak dibaca oleh anak-anak. Dalan cerpen ini, terlihat kegundahan seorang anak yang mernama “Nayla” sebagai tokoh utama. Nayla merupakan seorang anak yang berbeda dari kebanyakan anak lainnya, karena ia mampu mengingat semua peristiwa yang ia lalui semenjak ia masih berada dalam kandungan. Masa-masa itu ia lalui dengan suram, karena sang ayah menuduh bahwa ia bukan anaknya. Setelah ia terlahir, kepahitanpun ia terima karena ibu yang mengandungnya meninggal dunia. Semenjak kecil ia tidak menyusu air susu, melainkan menghisap penis ayah dan meminum air mani ayah. Ketika ayah sudah tidak menyusuinya, ia beralih pada teman-temanya dan teman ayahnya. Hingga suatu saat ia harus merelakan kemaluannya untuk dinikmanti pria yang tidak bertanggung jawab dan hasilnya berkembang menjadi janin. Dari keberaniannya menulis cerpen ini, sang pengarang menyisipkan amanat yang penting, bahwa ketika kita, atau istri kita mengandung, seharusnya ucapan kita dijaga.
Cerpen-cerpen yang ada dalam buku ini banyak memeroleh penghargaan. Entah dari isi atau karena ada unsur seks didalamnya. Salah seorang produser film panas Indonesia mengatkan bahwa di negara ini segala sesuatu yang berkaitan dengan seks selalu laku dipasaran, maka wajar saja jika banyak buku ini banyak banyak mendapat penghargaan, dan mungkin juga karena moral bangsa ini sudah rusak.
Berkaitan dengan moral, dalam kumpulan cerpen Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu) ada sebuah cerpen yang membahas masalah moral dalam cerpen yang berjudul Moral.  Dalam cerpen tersebut, pengarang seakan meremehkan moral yang semestinya harus kita junjung tinggi. Dalam cerpen tersebut, nilai morai lebih rendah dari harga rok mini. Akh,, apa memang bangsa ini sudah tidak bermoral? Bahkan diakhir cerpen tersebut pembaca dibuat kaget oleh pengarang dengan kalimat akhir dari tokohnya yaitu “Moral diobral lima ribu tiga di gedung DPR hari ini” kalimat tersebut merupakan sindiran untuk kita semua. Selain itu, untuk membeli “moral” yang haganya seribu rupiah, tokoh aku dalam cerpen tersebut harus berfikir matang-matang tentang sisa uang dan membayar parkir. Itulah teguran kecil dari ibu dengan dua orang putri untuk cerminan bangsa ini.
            Beberapa cerpen dalam kumpulan cerpen ini, ada diantaranya yang sarat akan seksualitas, dan tidak layak dibaca anak-anak karena isinya yang memungkinkan adanya fantasi-fantasi liar dari pembaca. Selain itu, kumpulan cerpen ini pun sarat akan nilai-nilai sosial, banyak sekali pesan yang terkandung dalam cerpen-cerpen tersebut. Suatu imajinasi yang tinggi juga bisa terlahir menjadi karya sastra jika disajikan dengan kematangan dan konsistensi pengarang dalam menyusung tema dan amanat walaupun nilai seksual tereksploitasi dengan baik, maka muncullah istilah “Dari Seks Menuju Sastra”.